Senin, 14 Maret 2011

Masa awal diterima sebagai anggota lingkungan akademis kampus atau masa-masa menjadi mahasiswa baru seringkali disertai oleh beberapa konflik. Dalam kerangka akademis, status dan peran sebagai seorang mahasiswa seringkali memberikan konsekuensi psikologis yang memberatkan bagi seseorang. Banyak penelitian menyimpulkan bahwa ujian, praktikum dan tugas-tugas kuliah yang lain memicu timbulnya stres yang berhubungan dengan peristiwa akademis (academic stress); yang dalam tingkat keparahan tinggi dapat menekan tingkat ketahanan tubuh (Taylor, 1991:477).
Salah satu penelitian tentang stres pada mahasiswa dilakukan oleh Glasser (dalam Taylor, 1991:478) yang mengukur parameter kekebalan tubuh dan psikologis terkait dengan stres menghadapi ujian. Pengukuran dilakukan pada 40 siswa tahun kedua mulai 6 minggu sebelum ujian sampai 6 minggu setelah ujian. Berdasarkan analisa skor pre-test dan post-test ditemukan peningkatan gejala stres serta penurunan tingkat kekebalan tubuh yang signifikan (Suryani, 2004:70). Penelitian Glasser tersebut sekaligus menunjukkan bahwa mahasiswa merupakan kelompok yang memiliki potensi besar untuk mengalami stres. Di lain pihak, stresor akademik sangat sulit bahkan tidak mungkin untuk ditiadakan. Sementara, lingkungan sosial cenderung menuntut seorang mahasiswa untuk dapat memenuhi harapan-harapan mereka, seperti nilai tinggi, aktif berorganisasi, berpikir kritis, dan sebagainya dengan optimal.
Oleh karena itu, perlu dirancang sebuah intervensi untuk membantu mahasiswa menghadapi stresor sehingga dapat mengelola stres dengan baik. Intervensi ini hendaknya memperhatikan faktor kepraktisan, efisiensi, dan efektifitas pelaksanaannya, karena intervensi yang berbelit dan memakan waktu, tenaga, atau biaya yang tidak sedikit dapat menjadi stresor baru bagi mahasiswa. Salah satu intervensi yang ditawarkan adalah dengan penggunaan humor dan tawa dalam setting terapi.
Humor dan tawa sebenarnya bukan merupakan sesuatu hal yang benar-benar baru secara ilmiah, namun penggunaannya sebagai terapi belum banyak dikenal. Selama lebih dari dua dekade terakhir telah dilakukan penelitian yang membuktikan bahwa tawa berdampak positif bagi berbagai sistem di dalam tubuh kita. Tawa membantu menyingkirkan efek-efek negatif stres dan berbagai penyakit yang terkait dengan stres seperti tekanan darah tinggi, penyakit jantung, kecemasan, depresi, gangguan pencernaan, insomnia, dan asma. Tawa juga membantu meningkatkan sistem kekebalan, yang merupakan kunci utama untuk mempertahankan kesehatan (Kataria, 2004:1).
Penelitian ini dirancang untuk mengetahui efektifitas terapi humor (humor therapy) terhadap penurunan tingkat stres pada mahasiswa baru. Penelitian dilakukan di Fakultas Psikologi, Universitas Airlangga, dengan mengambil sampel mahasiswa tahun pertama.

Stres pada Mahasiswa Baru
Patel (1996:3, dalam Wulandari, 2003:28) menyatakan bahwa stres merupakan reaksi tertentu yang muncul pada tubuh yang bisa disebabkan oleh berbagai tuntutan, misalnya ketika manusia menghadapi tantangan-tantangan (challenge) yang penting, ketika dihadapkan pada ancaman (threat), atau ketika harus berusaha menghadapi harapan-harapan yang tidak realistis dari lingkungannya.
Menurut Patel, stres tidak selalu bersifat negatif. Pada dasarnya, stres merupakan respon-respon tertentu dari tubuh terhadap adanya tuntutan-tuntutan dari luar. Dengan adanya berbagai tuntutan tersebut, tubuh manusia berusaha mengatasi dengan menciptakan keseimbangan antara tuntutan luar, kebutuhan dan nilai-nilai internal, kemampuan coping personal, dan kemampuan lingkungan untuk memberikan dukungan. Hasil dari interaksi tersebut adalah persepsi terhadap stres.
Akibat berbagai persepsi terhadap stres, muncullah 2 kondisi stres yang berbeda, yaitu eustress dan distress. Eustress adalah kondisi stres yang memberikan pengaruh positif bagi individu. Ini terjadi jika sebuah stresor diinterpretasikan sebagai tantangan sehingga dapat meningkatkan motivasi individu yang bersangkutan untuk dapat menyelesaikannya dengan baik. Sedangkan, distress adalah stres yang memberikan pengaruh buruk atau negatif. Distress terjadi ketika individu menginterpretasikannya sebagai sebuah ancaman, hambatan, atau gangguan sehingga dia akan selalu merasa ketakutan dan semakin menurunkan motivasinya untuk dapat menyelesaikan masalah tersebut.
Kenyataannya hampir semua manusia pernah mengalami stres dalam hidupnya, demikian juga mahasiswa baru. Perubahan kondisi lingkungan dan peran yang harus dipenuhi sebagai bagian dari perubahan status dari pelajar menjadi mahasiswa merupakan stresor yang umumnya dialami mahasiswa baru. Secara lebih spesifik, stresor pada mahasiswa baru dapat dikelompokkan menjadi 3 kategori di bawah ini:
a. Akademis
Stresor akademis meliputi perubahan mendadak pada situasi belajar, metode mengajar, serta suasana kampus yang jauh berbeda dengan sebelumnya, yaitu di sekolah. Pada lingkungan kampus, mahasiswa dituntut untuk lebih aktif, belajar mandiri, berpikir komprehensif, dan sebagainya yang bukan merupakan suatu hal yang mudah untuk dilakukan oleh seluruh mahasiswa baru.
b. Sosial
Pemberian status mahasiswa pada seseorang secara otomatis diikuti oleh pemberian label sosial serta harapan masyarakat dan keluarga terhadap mahasiswa baru. Label-label sosial seperti “tunas harapan bangsa” dan “putra kebanggaan orang tua” menyiratkan besarnya harapan masyarakat dan keluarga terhadap mahasiswa yang seringkali justru menjadi stresor tersendiri bagi mahasiswa baru. Keraguan terhadap kemampuan diri dan keinginan untuk memenuhi harapan sosial pada akhirnya dapat menjadi ancaman dan tantangan yang mempengaruhi tingginya angka potensi stres pada mahasiswa baru.
c. Personal
Sebagai individu, mahasiswa memiliki konsep, harapan, tujuan, dan nilai-nilai pribadi yang dipegang dan ingin diterapkan selama dia menjalani masa studi. Kesenjangan antara prinsip dan kenyataan yang harus dihadapi juga dapat menjadi pemicu mahasiswa baru mengalami stres. Dalam rangka penyesuaian dan mempertahankan diri, mahasiswa baru dapat merubah prinsip dan melakukan konformitas atau tetap memegang prinsip personal dan membuat kelompok baru bersama dengan sesama mahasiswa baru yang memiliki kesamaan prinsip.

Ketrampilan dalam mengelola stresor tersebut selanjutnya akan menentukan apakah dia akan mengalami stres atau tidak. Mahasiswa baru yang mempersepsikan stresor sebagai tantangan cenderung memiliki motivasi untuk menyesuaikan diri dengan perubahan yang dia alami. Di lain pihak, mahasiswa baru yang mempersepsikan stresor sebagai ancaman atau hambatan cenderung merasa terganggu dan cenderung menutup diri sebagai bentuk pertahanan sehingga dia gagal mempelajari teknik-teknik coping stress terhadap masalah tersebut dengan baik dan cepat. Apabila seorang mahasiswa baru mengalami distress dan tidak ada penanganan, baik dari orang lain maupun oleh diri sendiri sesegera mungkin stres dapat menetap dan mahasiswa tersebut akan rentan terhadap berbagai peristiwa yang terjadi selama proses belajar selanjutnya.

Terapi Humor (Humor Therapy)
Terapi humor merupakan metode terapi dengan menggunakan humor dan tawa dalam rangka membantu individu menyelesaikan masalah mereka, baik dalam bentuk gangguan fisik maupun gangguan mental (http://www.theherbsplace.com/AHM/ahmhumortherapy.html). Penggunaan tawa dalam terapi akan menghasilkan perasan lega pada individu. Ini disebabkan tawa secara alami menghasilkan pereda stres dan rasa sakit.
Pemberian stimulasi humor dalam pelaksanaan terapi diperlukan karena beberapa orang mengalami kesulitan untuk memulai tertawa tanpa adanya alasan yang jelas. Stimulasi humor yang dimaksud dapat diberikan dalam bentuk berbagai media, seperti VCD, notes, badut, dan komik. Apabila humor diberikan sebagai satu-satunya stimulus untuk menghasilkan tawa dalam setting terapi akan disebut sebagai terapi humor, namun jika dikombinasikan dengan hal-hal lain dalam rangka untuk menciptakan tawa alami (misalnya dengan yoga atau meditasi) akan disebut sebagai terapi tawa.
Terapi humor modern terjadi sekitar tahun 1930-an, dimana beberapa rumah sakit mengundang badut untuk menghibur anak-anak penderita polio. Tahun 1964, Norman Cousins menerbitkan Anatomy of an Illness yang mendokumentasikan kasus nyata tentang dampak positif penggunaan humor terhadap penyakit. Pada waktu itu, Norman Cousins didiagnosa menderita Cousins Ankylosing Spondylitis, yaitu sebuah penyakit mematikan yang meyebabkan disintegrasi pada jaringan spinalis. Para dokter memberikan prognosis kesembuhan pada Cousin sebesar 1 dibanding 500 kasus. Menghadapi tipisnya angka peluang untuk sembuh, Cousins memutuskan untuk melakukan terapi humor untuk menghibur dirinya sendiri. Dalam pelaksanaannya, Cousins menemukan bahwa 15 menit tertawa terbahak-bahak dapat menghasilkan tidur tanpa rasa sakit selama ± 2 jam. Sampel darah juga menunjukkan bahwa tingkat penyebaran penyakit telah menurun setelah menjalani terapi humor. Pada akhirnya, Cousins benar-benar sembuh dari penyakitnya. Selanjutnya, dia menuliskan pengalaman tersebut pada buku Anatomy of an Illness (http://www.holistic-online.com/Humor_Therapy/humor_therapy_introduction.htm).
Ada cukup banyak data dari penelitian medis yang menunjukkan bahwa kendati seseorang hanya berpura-pura tertawa atau bersikap gembira, tubuh telah menghasilkan zat-zat kebahagiaan. Menurut prinsip Neurolinguistic Programming apapun yang terkait dengan usaha memunculkan tawa tetap merupakan suatu bentuk latihan. Tubuh tidak mengetahui perbedaan antara berpikir mengenai sesuatu dengan benar-benar melakukannya. Maka apapun sumbernya, tawa menimbulkan serangkaian perubahan fisiologis yang sama di dalam tubuh kita (Kataria, 2004:5).
Sebagai terapi dengan pendekatan yang holistik, terapi humor tidak terlepas dari adanya kelebihan dan kekurangan. Kelebihan terapi humor adalah, antara lain:
a. Terapi humor merupakan terapi yang tidak membutuhkan banyak peralatan. Terapi ini dapat dilakukan dengan menggunakan media VCD, majalah, televisi, atau tidak menggunakan peralatan sama sekali, yaitu dengan saling berbagi cerita lucu dengan orang lain.
b. Terapi humor tidak memiliki batasan ruang dan waktu dalam pelaksanaannya. Ini dapat diterapkan di kamar, kelas, maupun ruangan terbuka.
c. Terapi humor tidak menuntut kehadiran seorang terapis profesional dan dapat diterapkan secara mandiri oleh individu atau kelompok yang menginginkanya.
d. Terapi humor dapat dilakukan dalam kelompok maupun individual. Namun, untuk mendapatkan manfaat yang lebih banyak, biasanya cenderung dilakukan dalam kelompok kecil.
e. Tidak ada ketentuan mengenai materi yang digunakan sebagai stimulus humor. Masing-masing individu bebas memilih jenis humor sesuai dengan minat dan keinginannya.

Selain kelebihan-kelebihan di atas, penggunaan tawa dalam terapi humor juga memiliki beberapa keterbatasan yang menjadi kekurangannya sebagai sebuah intervensi kesehatan, antara lain:
a. Terapi humor tidak dapat diterapkan pada individu dengan beberapa gangguan kesehatan, seperti hernia, wasir parah, penyakit jantung dengan sesak napas, pasca operasi, peranakan turun, kehamilan, serangan pilek dan flu, tuberkulosis, dan komplikasi mata (Kataria, 2004:63-68). Hal ini dikarenakan produksi tawa dikhawatirkan akan mengganggu proses penyembuhan serta dapat menularkan beberapa penyakit tertentu bila dilakukan dalam kelompok. Namun, kekurangan ini dapat dikendalikan jika individu yang bergabung dapat menguasai dirinya sendiri, sehingga tidak melakukan aktifitas tertawa yang berlebihan selama sesi terapi berlangsung.
b. Faktor lain yang dapat menjadi penghalang keberhasilan terapi humor adalah tingkat dan jenis sense of humor. Sense of humor adalah bagaimana seseorang mempersepsikan sebuah stimulus sebagai stimulasi humor sehingga dapat menghasilkan tawa. Tingkat sense of humor mengacu kepada seberapa sering seseorang mempersepsikan humor sebagai sebuah stimulus untuk menghasilkan tawa; sedangkan jenis sense of humor mengacu kepada jenis humor apa yang paling dapat membuat seseorang tertawa. Menurut penelitian Hartanti (2002); hanya orang-orang dengan tingkat dan jenis sense of humor tertentu yang mampu merespon stimulasi humor sesuai dengan yang diharapkan.

METODE PENELITIAN
Tipe dan Desain Penelitian
Penelitian menggunakan desain eksperimen ulang non random (non-randomized pretest-posttest control group design). Desain ini merupakan desain eksperimen yang dilakukan dengan memberikan pretes sebelum perlakuan dan posttes setelah perlakuan, dimana terdapat kelompok eksperimen dan kelompok kontrol yang ditetapkan dengan tidak random (Kerlinger, 1995).
Definisi Operasional
Definisi operasional variabel-variabel dalam penelitian ini adalah:
a. Penurunan tingkat stres pada mahasiswa baru
Penurunan tingkat stres adalah penurunan tingkat stres pada kelompok eksperimen setelah diberi perlakuan, yang terungkap dalam skor skala stres, yaitu Inventory of College Student’s Recent Life Experiences (ICSRLE) dan Symptoms Stress Table (SST) untuk mengukur tingkat stres berdasarkan gejala fisiologis dan psikologis yang muncul serta kehadiran stresor pada mahasiswa.

b. Terapi humor (humor therapy)
Terapi humor merupakan metode terapi dengan menggunakan humor dan tawa dengan tujuan utnuk menjaga dan meningkatkan kesehatan holistik. Terapi humor dilaksanakan dengan memberikan stimulasi humor kepada subyek penelitian dalam bentuk VCD humor 1 kali tiap minggu dengan judul atatu tema yang telah disepakati bersama antara peneliti dengan subyek penelitian; serta notes humor yang berisi 30-40 cerita-cerita humor dari berbagai jenis humor yang diberikan 1 kali tiap minggu setelah menonton VCD humor. Di antara rentang waktu pemberian stimulasi humor, ada sesi diskusi untuk membahas materi yang telah diterima subyek dan materi yang akan diberikan selanjutnya serta hal-hal terkait dengan perubahan perilaku yang dialami subyek setelah menerima stimulasi humor.

Subyek Penelitian
Subyek dalam penelitian ini adalah mahasiswa baru (tahun pertama) Fakultas Psikologi Universitas Airlangga. yang memiliki tingkat stress tinggi berdasarkan pengukuran sebelumnya. Bagi mahasiswa tahun pertama yang pernah mengikuti kegiatan perkuliahan di tempat lain atau pernah menjadi mahasiswa sebelumnya tidak termasuk dalam subyek penelitian ini

Metode Pengumpulan Data
Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala tingkat stres yang meliputi 2 skala yang diberikan secara terpisah. Skala yang pertama adalah Inventory of College Students Recent Experiences (ICSRLE) dan Symptomp Stress Table (SST) yang akan mengukur tingkat stres berdasarkan kehadiran stresor khusus pada mahasiswa serta munculnya gejala fisik dan psikologis (http://faculty.weber.edu/molpin/healthclasses/1110/bookchapters/selfassessmentchapter.htm).


Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan teknik Independent Sample t-test menggunakan bantuan komputer program SPSS versi 11.5 for Windows.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari hasil Independent Sample t-Test didapatkan nilai t hitung sebesar -1,763 dengan signifikansi 0,0455. Karena signifikansi < 0,05 dan karena nilai t hitung > 1,711, yaitu nilai t tabel pada derajat kebebasan 24 dan derajat kesalahan 5%, maka Ha yang menyatakan bahwa terapi humor (humor therapy) efektif untuk menurunkan tingkat stres pada mahasiswa baru dinyatakan diterima.
Hasil t-test ini didukung oleh perbedaan rata-rata gain score yang menunjukkan adanya penurunan tingkat stres (-16,385) pada kelompok eksperimen yang menerima perlakuan dan peningkatan tingkat stres (1,154) pada kelompok kontrol yang tidak menerima perlakuan.

Perolehan Gain Score pada
Kelompok Kontrol dan Kelompok Eksperimen
S Keterangan Skor Pretest Skor Posttest Gain Score Ket.
1 Eksperimen 40 61 21 Meningkat
2 Eksperimen 61 55 -6 Menurun
3 Eksperimen 68 71 3 Meningkat
4 Eksperimen 71 70 -1 Menurun
5 Eksperimen 74 94 20 Meningkat
6 Eksperimen 75 50 -25 Menurun
7 Eksperimen 85 77 -8 Menurun
8 Eksperimen 88 53 -35 Menurun
9 Eksperimen 90 62 -28 Menurun
10 Eksperimen 96 65 -31 Menurun
11 Eksperimen 110 81 -29 Menurun
12 Eksperimen 112 59 -53 Menurun
13 Eksperimen 117 76 -41 Menurun
14 Kontrol 59 97 38 Meningkat
15 Kontrol 63 86 23 Meningkat
16 Kontrol 69 103 34 Meningkat
17 Kontrol 73 74 1 Meningkat
18 Kontrol 74 80 6 Meningkat
19 Kontrol 78 46 -32 Menurun
20 Kontrol 85 97 12 Meningkat
21 Kontrol 90 81 -9 Menurun
22 Kontrol 91 102 11 Meningkat
23 Kontrol 109 118 9 Meningkat
24 Kontrol 111 125 14 Meningkat
25 Kontrol 113 71 -42 Menurun
26 Kontrol 127 77 -50 Menurun

Penurunan tingkat stres pada kelompok esksperimen dan peningkatan tingkat stres pada kelompok kontrol, seperti yang terlihat pada tabel di atas, sesuai dengan penelitian Michelle Jordan dan David J. Carter yang tertuang dalam sebuah jurnal kesehatan dengan judul The Relationship Between Stress and Humor with Asian College Students (http://www.angelfire.com/journal2/njca/JordanCarter.html). Dalam penelitian Jordan dan Carter ditemukan bahwa tingkat stres pada mahasiswa memiliki hubungan yang erat dengan tingkat sense of humor-nya. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi stres hampir sama dengan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan sense of humor seseorang, yaitu usia, jenis kelamin, penghasilan, dan suasana tempat tinggal.
Namun, apabila dilihat lebih lanjut pada distribusi perolehan gain score tidak seluruh kelompok eksperimen mengalami penurunan tingkat stres dan tidak seluruh kelompok kontrol mengalami kenaikan tingkat stres. Penurunan tingkat stres yang tidak merata pada seluruh kelompok eksperimen dapat disebabkan oleh respon mereka yang berbeda terhadap materi terapi. Bagi mereka yang tertawa dengan lepas selama sesi terapi cenderung mengalami penurunan tingkat stres yang signifikan, karena satu putaran tawa yang bagus dapat mengurangi tingkat hormon stres, yaitu epinephrine dan cortisol (Kataria, 2004: 69). Sedangkan penurunan tingkat stres pada beberapa kelompok kontrol merupakan sesuatu yang wajar terjadi mengingat rentang waktu pemberian pretest dan posttest cukup lama (± 3 minggu), sehingga mereka memiliki kesempatan untuk menyesuaikan diri dengan stresor dan membentuk respon atau coping stres yang sesuai.
Kenaikan tingkat stres pada subyek penelitian, baik kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol, dapat dimaklumi sebagai suatu kewajaran; mengingat pemberian posttest dilaksanakan 1 minggu menjelang Ujian Akhir Semester (UAS) dilaksanakan. Pada waktu-waktu tersebut, stresor akademik cenderung meningkat secara kuantitas dan kualitas akibat semakin padatnya aktivitas perkuliahan termasuk tugas-tugas dan praktikum. Ini sesuai dengan pernyataan Taylor (1991:477) yaitu telah dilakukan banyak penelitian yang menemukan bahwa ujian, praktikum dan tugas-tugas kuliah yang lain mempengaruhi timbulnya stres yang berhubungan dengan peristiwa akademis (academic stress).

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan pelaksaan penelitian ini maka dapat ditarik kesimpulan bahwa terapi humor (humor therapy) efektif untuk menurunkan tingkat stres pada mahasiswa baru Fakultas Psikologi Universitas Airlangga.
Selain itu, berdasarkan analisa data kualitatif pelaksanaan terapi humor memiliki banyak manfaat baik personal maupun sosial. Secara personal, subyek merasa lebih tenang, rileks, dan tidak mudah marah atau bosan. Sedangkan, secara sosial, subyek memiliki kesempatan untuk lebih mengenal dan akrab dengan teman satu angkatan yang sama-sama menjadi subyek penelitian (kelompok eksperimen).

Saran
Berdasarkan pengalaman dalam memberikan terapi humor, maka peneliti dapat memberikan masukan kepada peneliti dan praktisi terapi humor berikutnya, antara lain:
Pemberian terapi humor dengan melibatkan subyek untuk memilih materi ternyata cukup efektif dalam penelitian ini. Oleh karena itu praktisi atau peneliti selanjutnya hendaknya tetap mempertahankan keterbukaan ini untuk menjaga kenyamanan dan kelancaran penelitian
Read more »

Sabtu, 12 Maret 2011

KOGNISI


PEMBAHASAN

A.    Definisi
1.      Kognisi
Cognition adalah “suatu konsep umum yang mencakup semua bentuk pengenalan termasuk di dalamnya ialah mengamati, melihat, memperhatikan, memberikan, menyangka, membayangkan, memperkirakan, berfikir, mempertimbangkan, menduga dan menilai” (Chaplin, 2006:91). Selain itu, kognisi diartikan sebagai cara manusia berfikir. (R.J. Sternberg, 2008:2). Ada beberapa asumsi dalam perkembangan kognisi. Asumsi-asumsi tersebut adalah sebagai berikut:
  1. Alamiah versus Bentukan. Mana yang lebih berpengaruh di dalam kognisi manusia—alamiah atau bentukan? Jika kita percaya karakteristik bawaan kognisi manusia lebih penting, maka kita akan memfokuskan riset kepada studi tentang karakteristik bawaan kognisi. Jika kita percaya bahwa lingkungan memainkan peran yang penting di dalam kognisi, maka kita akan melakukan riset yang mengeksplorasi bagaimana karakteristik yang distingtif dari lingkungan mempengaruhi kognisi.
  2. Rasionalisme versus Empirisme. Bagaimana kita dapat menemukan kebenaran tentang diri kita dan dunia di sekitar kita? Bagaimana kita dapat menemukannya dengan menggunakan rasio secara logis, berbasis hal-hal yang kita ketahui? Ataukah kita menemukannya dengan melakukan observasi-observasi kita terhadap apa yang kita alami terhadap penyerapan indrawi?
  3. Struktur versus Proses: haruskah kita mempelajari struktur-struktur manusia (kandungan, atribut dan produk)? Ataukah lebih baik kita fokus kepada proses-proses berfikir manusia. (Stenberg,2008:20).
                  Berdasarkan tema di atas dapat dikatakan bahwa perkembangan kognisi manusia mengalami perdebatan di kalangan ilmuwan itu sendiri. Akan tetapi, perdebatan tersebut membawa kekayaan pengetahuan untuk memahami kompleksitas perkembangan kognisi itu sendiri. Kami percaya bahwa apapun rumusan yang telah dilakukan oleh ilmuwan memberikan kontribusi kepada kita dalam memahami kognisi itu sendiri.

2.      Memori

Memori merupakan fenomena paling luar biasa di dunia ini. Otak dimodifikasi dan diatur oleh pengalaman-pengalamn kita. Para ilmuwan hiruk pikuk membuat definisi tentang memori, namun itu menunjukkan betapa sedikit yang para ilmuan tersebut ketahui. Lebih lanjut, tindakan paling sederhana memori saja memicu jaringan saraf yang kompleks pada beberapa bagian otak yang berbeda. Contohnya, ”isi” suatu kejadian (apa yang terjadi) dan “makna”-nya (bagaimana ia dirasakan) diletakkan dalam bagian-bagian yang terpisah. (Colin Rose & Malcom J Nicholl, 1997; 69).

Secara etimologi, memori atau memory (Inggris), memoire (Prancis) adalah keberadaan tentang pengalaman masa lampau yang hidup kembali, catatan yang berisi penjelasan, atau dapat juga dianalogikan seperti alat di komputer yang dapat menyimpan dan merekam informasi. Rumusan lain adalah ingatan yang mempunyai arti lebih luas yaitu: a) apa yang diingat, b) yang terbayang di pikiran sepanjang ingatan, c) alat atau daya batin untuk mengingat atau menyimpan sesuatu yang pernah diketahui (dipahami atau dipelajari) d) pikiran, dalam arti angan-angan, kesadaran apa yang terbit di hati, seperti niat atau cita-cita (http:// hotnews. blogonsite. com/hotsains/definisi-memori-manusia/).

Memori adalah fungsi yang terlibat dalam mengenang atau mengalami lagi pengalaman masa lalu, keseluruhan masa lampau yang dapat diingat kembali. (Chaplin, 2006:295). Memori, sebagai sebuah proses, mengacu kepada mekanisme-mekanisme dinamis yang diasosiasikan dengan aktivitas otak untuk menyimpan, mempertahankan dan mengeluarkan informasi tentang pengalaman di masa lalu (Bjorklund, dkk., dalam Sternberg, 2008:148). Secara khusus, para psikolog kognitif telah mengidentifikasikan tiga operasi memori umum: pengkodean, penyimpanan, dan pemanggilan (Baddeley, dalam Sternberg, 2008:148).
B.     Kognisi dan memori pada tahap-tahap perkembangan
1.      Bayi dan Anak
Kognisi. Kami mengacu pada teori Piaget. Piaget percaya bahwa anak     mengorganisasikan khasanah pengetahuannya menjadi struktur kognitif yang kompleks. Struktur kognitif tersebut berisi sekelompok memori, pikiran dan strategi yang saling interrelasi untuk digunakan anak dalam memahami suatu situasi. Struktur kognitif pokok yang mendasari pengelolaan tindakan untuk memahami dan bereaksi terhadap lingkungan oleh Piaget diistilahkan sebagai skema (schema). Anak memiliki skema-skema yang berlainan serta dapat berubah seiring dengan pertambahan usia. Sejak lahir bayi sudah memiliki skema dengan pola tindakan masih simpel dalam bentuk reflex dan gerak motorik. Semakin bertambah umur anak secara bertahap mengganti skema aktivitas fisik menjadi aktivitas mental internal yang oleh Piaget disebut operation.
Proses kognitif terdiri dari dua proses penting yaitu organisasi dan adaptasi. Organisasi merupakan predisposisi untuk mengkombinasikan struktur mental sederhana menjadi struktur mental kompleks. Adaptasi adalah kecenderungan menyesuaikan diri terhadap lingkungan. Adaptasi terdiri atas dua aktivitas yaitu asimilasi dan akomodasi. Menghadapi situasi baru, pertama kali anak memakai asimilasi berarti menerapkan skema yang ada pada diri anak untuk suatu pengalaman baru. Kegagalan dalam berasimilasi membuat anak melakukan akomodasi yakni anak memodifikasi skema yang ada untuk merespon pengalaman baru. Proses kognitif seperti di atas dijumpai pada anak normal dan terus berlangsung sepanjang rentang kehidupan.
Piaget membagi-bagi perkembangan kognisi anak dalam beberapa tahap yang berurutan. Tahap yang sederhana menuju tahap yang lebih kompleks. Tiap-tiap tahap memiliki ciri khas di mana kemampuan yang belum ditunjukkan anak pada suatu tahap dapat muncul dalam tahap berikutnya. Catatan dari Piaget tentang teori perkembangan kognisi antara lain :
a.      Anak secara aktif membentuk dan mengembangkan pengetahuan.
b.      Perkembangan mengikuti tahapan yang pasti.
c.       Anak mencari pengetahuan bukan pasif menerima input dari luar.
d.      Kesalahan bersifat informatif dan menjadi petunjuk penting mengenai cara berpikir anak sebagai usaha memahami realitas.
e.       Perkembangan kognitif pada tahun-tahun permulaan tidak tergantung kemampuan bahasa sebab sistem perseptual-motorik memberi rute pengetahuan yang penting.

Memori. Bayi jelas sekali mengingat hal-hal. Bayi belum memiliki memori jangka panjang, namun terdapat cukup banyak penelitian di mana para peneliti menemukan bahwa bayi memiliki memori dan mampu menyimpan memori tersebut dalam waktu yang cukup lama sesuai dengan bertambahnya usia. Salah satu penelitian oleh Joseph Fagan menunjukkan bahwa bayi berusia 5 dan 6 bulan membentuk memori visual dan memori tersebut bertahan selama 2 minggu (Fagan, 268). Penelitian-penelitian terbaru bahkan menunjukkan bahwa bayi berusia 1 bulan menunjukkan memori yang relatif bertahan lama. Sebagai contoh, pada penelitian ini para ibu dari bayi-bayi berusia 1 dan 2 bulan membacakan satu atau dua sajak anak-anak selama dua minggu penelitian. Para bayi kemudian dibawa ke dalam laboratorium dan bayi-bayi ini didengarkan suara yang membacakan sajak yang sering dibaca oleh ibu-ibu mereka. Pengukuran dilakukan dengan melihat frekuensi bayi mengisap jempol ketika mereka mendengar sajak yang sering dibacakan ibu mereka. Sesudah 3 hari dari pembajaan sajak, para bayi dibacakan lagi dan hasilnya mereka masih mengingat sajak tersebut. Memori ini bahkan bisa bertahan sampai 1 bulan.
Bayi dengan jelas mengembangkan memori jangka panjangnya terhadap pengalaman masa lalu di usia kira-kira enam bulan atau bahkan sebelumnya. Pada akhir tahun pertama kehidupannya, mereka mulai belajar dan mengingat kata-kata. Orang dewasa, sesungguhnya, menyimpan keahlian dan informasi yang diperolehnya selama masa pertumbuhan dan masa kanak-kanak, namun orang dewasa kelihatannya tidak dapat mengingat secara sadar dan mendeskripsikan apapun pengalaman-pengalaman mereka sebelum berumur kira-kira 3 tahun. Ini disebut amnesia masa kanak-kanak atau amnesia infantil (infantile amnesia). Infantile amnesia pertama kali dideskripsikan oleh Sigmund Freud, yang memperkirakan periode ini akan meluas kembali sampai umur 6 tahun, tetapi penelitian terakhir mengindikasi bahwa infantile amnesia ini hanya dapat meluas ke umur 3 atau 4 tahun. Awalnya, Freud berfikir bahwa kemungkinan hal ini merupakan akibat dari penekanan (represi) memori yang ada, tetapi rupanya ide ini kemudian diabaikan (Richard Thompson & Stephen A Madigan, 2007:76).
Beberapa orang dewasa dapat menarik kembali beberapa kenangan dibentuk ketika mereka masih menjadi bayi  berusia 2 atau 3 tahun. Namun, sebagian besar orang dewasa hanya dapat menarik kembali kenangan-kenangan ketika mereka berusia lebih  dari 5 atau 6 tahun. Studi menunjukkan bahwa orang dewasa tidak hanya melupakan apa yang terjadi selama di tahun-tahun awal. (Joanna Schaffhausen, dalam www. yusfysasaq.com)

2.      Remaja
Kognisi. Menurut Piaget (dalam Santrock, 2001), seorang remaja termotivasi untuk memahami dunia karena perilaku adaptasi secara biologis mereka. Dalam pandangan Piaget, remaja secara aktif membangun dunia kognitif mereka, di mana informasi yang didapatkan tidak langsung diterima begitu saja ke dalam skema kognitif mereka. Remaja sudah mampu membedakan antara hal-hal atau ide-ide yang lebih penting dibanding ide lainnya, lalu remaja juga menghubungkan ide-ide tersebut. Seorang remaja tidak saja mengorganisasikan apa yang dialami dan diamati, tetapi remaja mampu mengolah cara berpikir mereka sehingga memunculkan suatu ide baru.
Perkembangan kognitif adalah perubahan kemampuan mental seperti belajar, memori, menalar, berpikir, dan bahasa. Piaget (dalam Papalia & Olds, 2001) mengemukakan bahwa pada masa remaja terjadi kematangan kognitif, yaitu interaksi dari struktur otak yang telah sempurna dan lingkungan sosial yang semakin luas untuk eksperimentasi memungkinkan remaja untuk berpikir abstrak. Piaget menyebut tahap perkembangan kognitif ini sebagai tahap operasi formal (dalam Papalia & Olds, 2001).
Tahap formal operations adalah suatu tahap di mana seseorang sudah mampu berpikir secara abstrak. Seorang remaja tidak lagi terbatas pada hal-hal yang aktual, serta pengalaman yang benar-benar terjadi. Dengan mencapai tahap operasi formal remaja dapat berpikir dengan fleksibel dan kompleks. Seorang remaja mampu menemukan alternatif jawaban atau penjelasan tentang suatu hal. Berbeda dengan seorang anak yang baru mencapai tahap operasi konkret yang hanya mampu memikirkan satu penjelasan untuk suatu hal. Hal ini memungkinkan remaja berpikir secara hipotetis. Remaja sudah mampu memikirkan suatu situasi yang masih berupa rencana atau suatu bayangan (Santrock, 2001). Remaja dapat memahami bahwa tindakan yang dilakukan pada saat ini dapat memiliki efek pada masa yang akan datang. Dengan demikian, seorang remaja mampu memperkirakan konsekuensi dari tindakannya, termasuk adanya kemungkinan yang dapat membahayakan dirinya.
Pada tahap ini, remaja juga sudah mulai mampu berspekulasi tentang sesuatu, di mana mereka sudah mulai membayangkan sesuatu yang diinginkan di masa depan. Perkembangan kognitif yang terjadi pada remaja juga dapat dilihat dari kemampuan seorang remaja untuk berpikir lebih logis. Remaja sudah mulai mempunyai pola berpikir sebagai peneliti, dimana mereka mampu membuat suatu perencanaan untuk mencapai suatu tujuan di masa depan (Santrock, 2001).
Salah satu bagian perkembangan kognitif masa kanak-kanak yang belum sepenuhnya ditinggalkan oleh remaja adalah kecenderungan cara berpikir egosentrisme (Piaget dalam Papalia & Olds, 2001). Yang dimaksud dengan egosentrisme di sini adalah “ketidakmampuan melihat suatu hal dari sudut pandang orang lain” (Papalia dan Olds, 2001). Elkind (dalam Beyth-Marom et al., 1993; dalam Papalia & Olds, 2001) mengungkapkan salah satu bentuk cara berpikir egosentrisme yang dikenal dengan istilah personal fabel. Personal fabel adalah “suatu cerita yang kita katakan pada diri kita sendiri mengenai diri kita sendiri, tetapi [cerita] itu tidaklah benar” . Kata fabel berarti cerita rekaan yang tidak berdasarkan fakta, biasanya dengan tokoh-tokoh hewan. Personal fabel biasanya berisi keyakinan bahwa diri seseorang adalah unik dan memiliki karakteristik khusus yang hebat, yang diyakini benar adanya tanpa menyadari sudut pandang orang lain dan fakta sebenarnya. Papalia dan Olds (2001) dengan mengutip Elkind menjelaskan “personal fable” sebagai berikut :
“Personal fable adalah keyakinan remaja bahwa diri mereka unik dan tidak terpengaruh oleh hukum alam. Belief egosentrik ini mendorong perilaku merusak diri [self-destructive] oleh remaja yang berpikir bahwa diri mereka secara magis terlindung dari bahaya. Misalnya seorang remaja putri berpikir bahwa dirinya tidak mungkin hamil [karena perilaku seksual yang dilakukannya], atau seorang remaja pria berpikir bahwa ia tidak akan sampai meninggal dunia di jalan raya [saat mengendarai mobil], atau remaja yang mencoba-coba obat terlarang [drugs] berpikir bahwa ia tidak akan mengalami kecanduan. Remaja biasanya menganggap bahwa hal-hal itu hanya terjadi pada orang lain, bukan pada dirinya”.

Memori. Memori pada remaja kurang lebih sama seperti pada masa kanak-kanak, hanya yang membedakan adalah proses yang terjadi pada remaja menjadi lebih rumit. Bagian penting dari perkembangan otak menyangkut penghilangan (pruning) neuron-neuron dan  koneksi-koneksi yang tidak terpakai, yang mengakibatkan penguatan pada koneksi-koneksi yang paling digunakan. Kebanyakan dari proses ini terlihat muncul di korteks depan, di mana fasilitas kita yang lebih tinggi, seperti pembuatan-keputusan, perancangan tujuan, dan kontrol eksekutif, berada. Kematangan otak sepertinya muncul secara kasar dari belakang ke depan: cerebellum (terlibat dalam keterampilan motorik) adalah bagian pertama yang menjadi matang, dan korteks prefrontal (kemungkinan tidak akan matang sampai usia pertengahan 20 tahunan).
      Pengambilan keputusan yang tidak baik, perilaku sembrono, pelanggaran aturan, kecenderungan terhadap ledakan emosi, kemampuan organisasi yang sedikit, dan sedikitnya kemampuan untuk memproses konsep abstrak berkaitan selalu dengan masalah pada pruning. Penundaan pematangan korteks prefrontal juga berperan pada kemampuan remaja untuk berkomunikasi dengan orang lain. 

3.      Dewasa dan Lansia
Kognisi. Kognisi pada tahap perkembangan ini bergerak maju dan berkembang, dan potensi kognitif kemudian menjadi disadari oleh individu. Bagi individu-individu yang berkembang secara normal terdapat beberapa perbedaan level dalam prestasi yang telah dicapai dan dalam tingkat di mana pertumbuhan muncul, tetapi hampir tidak ada perbedaan dalam perubahan arah. Perubahan lain yang dapat dilihat adalah kecerdasan yang meningkat  sampai  dewasa awal dan terus-menerus menurun sampai dewasa akhir. Sehingga jika digambarkan dengan kurva, maka kurva ini akan berbentuk huruf U terbalik.
Pada tahap ini, kognitif memiliki beberapa potensi yang, mungkin, tidak atau belum ada/ terasah dengan baik pada tahap-tahap perkembangan sebelumnya. Potensial-potensial tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Kelenturan (plasticity) dan Pengalaman.
2.      Kebijaksanaan. Kebijaksanaan, menurut G. Stanley Hall (1922), mencakup pengambilan perspektif, mengumpulkan faktor-faktor signifikan dalam hidup, dan terus bergerak ke tingkat yang lebih tinggi, dan merupakan salah satu karakteristik yang sangat diinginkan dalam tahap dewasa akhir. Peneliti lain, menggambarkan kebijaksanaan sebagai penilaian baik tentang penyikapan atas hidup. Penilaian yang baik tentang masalah hidup mungkin melibatkan pertimbangan atas aspek keadaan yang beragam seperti kelemahan dan kekuatan personal, emosi dan pembawaan, kemampuan fisik dan kesehatan, juga pertimbangan sosial dan budaya. Kekes (1983), menyampaikan bahwa permasalahan-permasalahan dalam hidup yang menimbulkan kebijaksanaan adalah permasalahan-permasalahan yang memerlukan pertimbangan yang banyak dan bahkan penyelesaian yang banyak, masing-masing dengan akibat yang beragam. Keputusan yang baik, oleh karenanya, akan melibatkan beberapa hal (Baltes & Staudinger, 1993). Pertama, adanya analisis terhadap masalah. Prosses ini mencakup pengetahuan tentang (a) individu dan pembawaannya serta kelemahannya, (b) situasi atau permasalahan yang dihadapi, (c) konteks permasalahan, terutama dengan respek pada perkembangan jangka hidup individu. Dalam psikologi kognitif, pengetahuan tentang sesuatu dikenal sebagai pengetahuan deklaratif (declarative knowledge). Kedua, kebijaksanaan akan melibatkan beberapa pengetahuan tentang bagaimana untuk menyelesaikan masalah. Proses ini akan mencakup strategi and prosedur yang berfungsi/ bekerja pada masalah-masalah tertentu. Dalam psikologi kognitif, pengetahuan bagaimana cara untuk melakukan sesuatu dikenal sebagai pengetahuan prosedural (procedural knowledge). Ketiga, kebijaksanaan akanmelibatkan penilaian yang baik tentang apa yang harus dilakukan dalam situasi-situasi tertentu. Untuk memelihara kebijaksanaan diperlukan beberapa latihan dan usaha, sama seperti kecerdasan.
3.      Kreativitas. Kreativitas adalah kemampuan untuk berinovasi, untuk merubah lingkungan daripada hanya menyesuaikan dalam sikap yang lebih pasif(Simonton, 1990, p. 320). Jika stereotipe yang populer tentang kebijaksanaan adalah kebijaksanaan berkembang sesuai dengan usia, maka stereotipe tentang kreativitas mungkin adalah kreativitas akan menurun selama masa dewasa. Seorang peneliti bernama Simonton melakukan penelitian (1990, 1994) dan mengungkapkan tiga pernyataan umum tentang kreativitas. Pertama, ada penurunan kreativitas yang berhubungan dengan umur di masa tua. Meskipun demikian, penurunan ini jarang sekali berkaitan dengan berubahnya seseorang yang kreatif menjadi orang yang tidak kreatif. Kedua, tingkat kreativitas atau produktivitas orang yang lebih tua tergantung pada kreativitas mereka di usia muda daripada usia mereka. Simonton berpendapat bahwa orang-orang yang sangat kreatif di tahap dewasa awal mereka sering menjadi sangat beruntung sepanjang karir mereka. Ketiga, tidak ada bukti tentang penurunan hasil kreativitas karena berkaitan dengan penurunan keterampilan kognitif. Terakhir, sangat mungkin untuk berpendapat bahwa orang-orang kreatif dapat terus menjadi kreatif sepanjang karir mereka.
4.      Kompensasi, merujuk pada serangkaian mekanisme dengan mana individu dapat terus melakukan keterampilan yang sulit atau rumit meskipun mereka mengalami kerugian/ kehilangan (dalam) kemampuan yang sama yang diperlukan untuk melakukan tugas-tugas tertentu. Orang-orang dewasa dapat mengimbangi penurunan yang mereka alami, bahkan dalam komponen-komponen dasar; mereka dapat terus melakukan keterampilan-keterampilan yang rumit (menggubah, menulis novel, mengemudi mobil) pada level yang kompeten, atau level yang kreatif.

Memori. Secara keseluruhan, penelitian pada memori dan proses penuaan berfokus pada proses dengan mana individu mampu memanggil kembali kejadian atau informasi yang pernah dialami, tingkat di mana proses-proses ini berubah dengan bertambahnya usia, dan kondisi-kondisi, keterkaitan, atau prediktor atas perubahan tersebut. Dari semua aspek dalam proses penuaan kognisi, memori mungkin merupakan satu-satunya yang menarik perhatian manusia dan para akademisi. Di dalam memori terdapat sistem memori yang didefinisikan sebagai serangkaian proses yang saing berkaitan, berhubungan dengan mekanisme otak, proses informasi, dan prinsip operasional yang umum (Schacter & Tulving, 1994). Dalam bagian ini, kami akan membahas tentang sistem meori, yang terdiri atas empat sistem memori, untuk menjelaskan bagaimana (proses) memori yang terjadi pada tahap perkembangan dewasa dan lansia. Kami akan mulai dengan dua sistem memori yang paling umum, yang orang-orang lebih sering gunakan untuk mengekspresikan keyakinan dan ketakutan mereka tentang efek dari penuaan pada fungsi memori (Ryan, 1992).
1.      Memori episodik. Bentuk ini merujuk pada memori untuk kejadian atau informasi yang dialami secara personal. Contoh dalamkehidupan sehari-hari adalah berusaha untuk mengingat nama orang-orang yang kita temui, lokasi memarkir mobil, percakapan atau lelucon yang didengar, atau daftar barang-barang belanjaan. Sistem memori bentuk ini dianggap menjadi sistem memori yang terakhir berkembang, dan beberapa peneliti menganggap bahwa bentuk tersebut selalu berkaitan dengan yang pertama yang menunjukkan tanda penurunan berkaitan dengan usia. Meskipun tidak ada bukti yang telah disusun untuk membantah secara persuasive kesimpulan bahwa ingatan episodik pada umumnya menurun bersamaan dengan bertambahnya usia, beberapa penelitian
cross-sectional (e.g., Nilsson et al., 1997) and longitudinal (Dixon, Wahlin, Maitland, Hertzog, & Bäckman, dalam press) mengindikasi bahwa besarnya perubahan usia mungkin lebih bertahap untuk orang dewasa dengan penuaan normal, setidaknya sampai usia pertengahan 70-an (Bäckman et al., 2000).
2.      Memori semantik. Sistem memori ini diekspresikan melalui kemahiran dan ingatan akan fakta-fakta umum, pengetahuan, dan keyakinan. Temuan tipikal untuk memori semantik adalah bahwa orang yang lebih tua mungkin dapat mengingat informasi seperti itu sama banyaknya seperti orang yang lebih muda. Namun, beberapa penelitian menyatakan bahwa orang-orang yang sudah tua mengakses informasi dengan lebih lambat dan memiliki lebih sering halangan jika dibandingkan dengan orang yang lebih muda.
3.      Memori Prosedural. Bentuk memori ini dicerminkan dalam pembelajaran bertahap (melalui praktek) dari beragam keterampilan kognitif dan perilaku. Secara alamiah, bersamaan dengan seseorang berlajar sebuah keterampilan, orang tersebut juga dapat memperoleh informasi atau tindakan dengan sengaja, bebas, jelas, dan dengan kesadaran. Namun demikian, tahapan-tahapan dan aspek-aspek lain dari pembelajaran keterampilan dapat dicapai dengan cara yang lebih otomatis, secara implisit, dan tanpa kesadaran khusus. Aspek yang terakhir dari memori adalah yang tercerminkan dalam sistem ini. Aspek tersebut terlibat dalam pengidentifikasian kata-kata, objek, atau pergerakan yang telah dialami oleh seseorang tetapi individu tersebut memiliki sedikit kesadaran langsung–sedikit memori episodik tentang pertemuan dengan kata atau objek. Harapan yang umum adalah bahwa memori procedural relative tidak dipengaruhi oleh penuaan, selama keterlibatan memori eksplisit diminimalisir (Craik, 2000; Craik & Jennings, 1992). Meskipun hal ini terlihat mengindikasikan aspek yang menguntungkan dari fungsi memori di usia senja, hal tersebut mungkin mengarah pada kecenderungan yang lebih besar untuk men-genaralisir dan mengingat informasi yang salah (lihat Schacter, Koutsaal, & Norman, 1997).
Memori utama. Sistem ini dikenal juga sebagai working memory dan memori jangka pendek. Teminologi memori utama dipilih untuk menyampaikan fakta bahwa beberapa ungkapan memori biasanya singkat, temporer, belum (atau tidak) disimpan, atau masih dalam kesadaran. Secara khusus, memori utama diobservasi dalam kondisi-kondisi di mana individu harus mengulang informasi singkat yang diberikan dengan segera tepat sebelum tes. Sebagai contoh, seseorang harus mengulangi daftar singkat kata-kata atau angka segera setelah daftar tersebut dibacakan. Untuk tugas yang singkat dan pasif tersebut, orang-orang dewasa yang sudah tua memiliki hasil yang sebaik orang-orang dewasa yang lebih muda, atau setidaknya tidak selemah pada tugas yang memiliki manipulasi informasi rumit yang lebih tinggi dengan waktu yang lebih lama. Dalam melakukan tugas-tugas working memory, diperlukan proses yang lebih aktif dan manipulasi atas informasi yang diberikan. Hal ini membuat orang-orang dewasa yang sudah tua tidak mendapatkan keuntungan jika dibandingkan dengan orang-orang dewasa yang lebih muda dalam melakukan tugas seperti itu. Seperti yang diungkapkan Craik (2000), perbedaan pola di dalam sistem memori menyatakan bahwa proses penuaan tidak berpengaruh negative beberapa tuntutan memori sehari-hari (contoh menyalin alamat dan angka sementara mereka membaca), tetapi memiliki pengaruh negative pada aspek yang lebih aktif dari proses memori online.
           
C.     Kondisi-kondisi khusus dalam memori
Terdapat empat gambaran tentang kondisi-kondisi khusus tentang memori yang mengilustrasikan beberapa sifat luar biasa pada memori manusia. Kondisi-kondisi tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Kehidupan tanpa memori (memori yang lemah)
Kasus sejarah yang paling terkenal dari kelainan memori adalah milik HM. HM adalah seorang anak muda penderita epilepsi parah yang tidak dapat dikendalikan lagi dengan obat-obatan. Sebagai hasil dari pembedahan saraf untuk mengobati epilepsinya, HM kehilangan kemampuannya untuk membentuk memori jangka panjang baru, memorinya hanya berdasarkan momen ke momen saja. Dia tidak dapat lagi mengingat pengalaman-pengalamannya lebih dari beberapa menit. Seperti yang dikatakannya:
”saat ini, saya merasa ragu, apakah saya telah melakukan atau mengatakan sesuatu yang salah? Anda lihat, saat ini semua tampak jelas bagi saya, apa yang terjadi sebelumnya? Itulah yang mengkhawatirkan saya. Rasanya seperti bangun dari mimpi. Saya tidak ingat.”

Jika anda diperkenalkan kepada HM dan berbincang dengannya untuk beberapa saat, anda akan mendapat kesan  bahwa dia adalah seorang anak muda normal dengan IQ di atas rata-rata. Jika anda meninggalkannya dan kembali beberapa menit kemudian, dia mungkin tidak akan mempunyai ingatan pernah bertemu dan berbicara dengan anda sebelumnya. Meski demikian “memori kerja” seketikanya tetap utuh. (Richard Thompson & Stephen A Madigan, 2007:3).
Walau HM tidak dapat menyimpan pengalaman-pengalamannya dalam memori jangka panjang, dia dapat belajar dan menyimpan kemampuan  motorisnya relatif normal. Misal, Anda adalah pelatih tenisnya. Melatihnya dengan berbagai kemahiran dalam beberapa seri pelajaran, kemahirannya akan meningkat seperti halnya orang lain. Namun  setiap kali akan memulai pelajaran, dia harus diperkenalkan kembali kepada Anda dan Anda harus mengingatkan kalau dia akan belajar tennis.
2.      sang mnemorist : memori yang menakjubkan
Bayangkan apa jadinya hidup Anda jika ternyata Anda memiliki kemampuan mengingat luar biasa. Katakanlah Anda sanggup mengingat setiap angka berapapun jumlahnya. Ilustrasi di bawah akan mendeskripsikan individu dengan kemampuan memori yang menakjubkan.
“Beberapa orang menjadi terkenal karena memiliki kemampuan yang luar biasa khususnya dalam hal mengingat. Salah seorang di antaranya adalah Rajan Mahadevan. Saat berusia 5 tahun, ia keluar masuk rumahnya di India pada saat orangtuanya mengundang kurang lebih 40 sampai dengan 50 orang tamu dalam sebuah pesta. Rajan mengamati mobil para tamu yang diparkir, lalu kembali ke pesta, dan kemudian ia menceritakan kembali seluruh nomor plat kendaraan dari ingatannya untuk dicocokkan dengan setiap para tamu yang telah memarkir kendaraannya. Rajan mendapatkan penghargaan dunia sebagai orang yang pertama kali mampu mengingat secara sempurna 31.811 digit per pi (rata-rata 3,5 digit per detik).
Bagaimana Rajan mampu melakukan prestasi yang sangat mengagumkan ini? Pada waktu para peneliti memori di Kansas State (tempat Rajan kuliah Psikologi) menanyakan kepadanya tentang hal ini, dia mengatakan “bahwa menjelaskan bagaimana dia mempelajari angka-angka kiranya sama kalau dia menjelaskan bagaimana dia naik sepeda. Dia tahu bagaimana melakukan kedua pekerjaan ini, tetapi dia mengalami kesulitan untuk menjelaskan prosesnya” (Thompson et al, 1993, hal 13).”

Dengan kata lain, memori Rajan adalah biasa (umum). Tentu saja, dia menggunakan daftar bahan makanan untuk mengingat apa yang akan dibeli di pasar. Sebagaimana dia juga mencatat, “ketika saya meletakkan kacamata, dompet, dan kunci secara bersama-sama di dekat pintu sebelum saya memulai aktivitas saya, saya pasti akan melupakannnya” (Michael W. Passer & Ronald E. Smith, 2007).
3.      Hidup dengan memori terlalu banyak
Kasus sejarah yang paling terkenal  dari seorang manusia adalah apa yang biasanya disebut sebagai memori “fotografi” yang telah didokumentasikan oleh seorang psikolog ternama Rusia, Alexander Luria, yang menamakna subjeknya sebagai “S”.
“Alexander Luria, seorang psikolog Rusia, menceritakan bahwa suatu ketika S datang ke laboratarium dan meminta agar memorinya diuji. Luria pun, mengetesnya. Dia lalu menemukan bahwa  memori pria ini tidak memiliki batasan. S dapat mengucapkan kembali serangkaian kata yang sangat panjang tidak perduli sudah berapa lama kata-kata itu pernah dibacakan padanya. Luria kemudian mempelajari S selama 30 tahun. Dia lalu menemukan bahwa meskipun memori S diukur 15 atau 16 tahun setelah sebuah sesi tes di mana  S diminta mempelajari beberapa kata, pria masih bisa mengingatnya dan mengucapkan dengan baik kata-kata tes tersebut. S akhirnya menjadi penghibur yang profesional. Dia membuat penontonnya takjub dengan kemampuannya mengingat apa saja yang ditanyakan kepadanya. (Sternberg, 2008:169).”

4.      memori palsu
Kasus sejarah terdahulu dan pengalaman-pengalaman umum telah mengasumsikan kita bahwa memori itu seperti rekaman kaset atau rekaman video, menyimpan catatan yang tepat secara akurat mengenai kejadian-kejadian yang telah dialami. Tidak jauh berbeda dengan aslinya. Memori sangat luar biasa, tetapi jauh dari sempurna. Contoh kasus yang lebih serius adalah manakala masyarakat dapat dibuat mengingat hal-hal yang sebenarnya tidak terjadi. Dapatkah memori yang tidak benar ditanamkan? Elizabeth Loftus, tokoh ilmu memori manusia dan kelemahannya, telah menyelidiki masalah ini secara mendalam. Contoh ini akan melibatkan Alan Alda, yang dikenal sebagai Hawkeye Pierce dari tayangan TV MASH. Yang masyarakat tidak ketahui adalah bahwa Alda merupakan penggemar ilmu pengetahuan sejati dan pembawa acara scientific American Frontiers, program televise yang ditujukan untuk mengkomunikasikan teori-teori ilmiah kepada public. ((Richard Thompson & Stephen A Madigan, 2007:8).
Alan Alda mengunjungi Loftus di University of California, Irvine, untuk mengerjakan sebuah tayangan mengenai memori. Seminggu sebelum Alda tiba, Loftus mengirimkan daftar pertanyaan, pura-pura ditujukan untuk mempelajari kepribadiannya, khususnya mengenai selera makan. Ketika Alda bertemu dengan Loftus, dia menjelaskan kepada Alda bahwa dia dan koleganya menganalisis data yang dikirimkan kembali dan menemukan bahwa Alda pada suatu waktu pernah sakit keras setelah makan telur rebus di masa kecilnya. (sepanjang pengetahuan Loftus, sebenarnya ini tidak pernah terjadi). Kemudian, Loftus dan para peneliti lainnya mengadakan piknik makan siang dengan Alda. Di sana terdapat makanan sedap, khususnya khususnya telur rebus dan telur berbumbu. Ketika ditawari telur-telur ini, Alda menolak memakannya. Apakah ini Loftus telah menanamkan memori yang tidak benar di otaknya tentang masa kecilnya dengan telur? Pada beberapa peristiwa, penolakan Alda terhadap telur di kesempatan itu difilmkan dan menjadi bagian dari program scientific American Frontiers tentang memori. (Richard Thompson & Stephen A Madigan, 2007:3).
Memperhatikan ke empat gambaran memori yang melekat pada individu tersebut, dapat disimpulkan bahwa memori manusia memiliki kekuatan yang luar biasa, dengan segala kelebihan dan kelemahannya. Selanjutnya, bagaimana kita menyikapi ke empat gambaran memori di atas? Seyogianya kita dapat bersikap lebih bijak dengan cara melihat dari sudut pandang individual deferences. Artinya, ada individu tertentu merasa nyaman dengan “kondisi memorinya” dan ada sebagian individu yang merasa tidak nyaman dengan “kondisi memorinya”. Menurut hemat kami, apapun kondisi memori kita adalah anugerah yang telah Tuhan berikan kepada kita dan kita mensyukuri.

D.    Aplikasi dalam dunia pendidikan
1.      Implikasi teori kognitif pada pendidikan secara umum
Teori mengenai kognisi manusia telah memberikan banyak ide mengenai bagaimana kita dapat membantu pembelajaran orang lain. Pada pembahasan ini akan disampaikan beberapa aplikasi teori kognitif pada bidang pendidikan dengan mengidentifikasi beberapa implikasi secara umum pada pendidikan menurut pandangan kognitif, termasuk didalamnya teori awal kognitif.
1)      Proses kognitif mempengaruhi pembelajaran. Pembelajaran merupakan sebuah fungsi tentang bagaimana informasi dipandang sebagai sebuah proses mental, maka proses kognitif siswa seharusnya menjadi perhatian utama para pendidik. Kesulitan belajar siswa seringkali mengindikasikan proses kognitif yang tidak efektif atau tidak tepat, sebagai contoh anak-anak dengan kesulitan belajar cenderung untuk memproses informasi kurang efektif jika dibandingkan anak-anak yang tidak mengalami kesulitan belajar. Guru seharusnya sadar untuk tidak hanya melihat apa yang siswa coba untuk dipelajari tetapi juga melihat bagaimana proses mereka ketika mencoba untuk mempelajari sesuatu.
2)      Sebagai sebuah bagian dari proses pertumbuhan pada anak-anak, maka mereka akan menjadi lebih mampu dalam mengembangkan pemikiran yang lebih cerdas. Baik Piaget maupun Vygotsky menekankan bahwa anak-anak mendapatkan proses berfikir secara kompleks sepanjang waktu. Piaget menggambarkan perkembangan dalam empat tahap kualitatif yang berbeda, sedangkan Vygotsky berbicara lebih pada sisi zona kemajuan yang berkelanjutan dari perkembangan proximal. Lepas dari pandangan siapa yang digunakan, kesimpulan yang sama mengemukakan bahwa guru harus mempertimbangkan tahap terkini dari pencapaian fungsi kognisi siswanya ketika merencanakan topik belajar dan metode instruksinya. Sebagai contoh, anak-anak pada tingkat sekolah dasar cenderung mempunyai kesulitan dengan ide abstrak dimana mereka tidak bisa menghubungkannya dengan pengalaman mereka (menggunakan paradigma Piaget bahwa mereka berada dalam tahap pra operasional atau konkret dibandingkan dengan tahap operasional formal) sehingga mereka akan belajar lebih efektif jika informasi disajikan dengan konkret. Bahkan siswa SMA dan perguruan tinggi sekalipun jika mereka tidak mendapatkan secara lengkap langkah-langkah operasional formal dalam berfikir dan melakukan pertimbangan mungkin bisa memanfaatkan pengalaman konkritnya sebelum mempelajari materi abstrak. Pada kenyataannya, riset pembelajaran verbal menyatakan bahwa siswa dari segala usia dan tahap perkembangan seharusnya mendapatkan manfaat dari materi pembelajaran yang konkret.
3)      Individu mengorganisir segala sesuatu yang mereka pelajari. Guru dapat memfasilitasi pembelajaran para siswa dengan mempresentasikan informasi dalam sebuah struktur yang terorganisir dan membantu siswa untuk melihat bagaimana suatu hal saling berhubungan dengan yang lainnya.
4)      Informasi baru akan lebih mudah didapatkan ketika individu mampu untuk mengasosiasikannya dengan hal-hal lain yang telah mereka pelajari. Atas dasar itulah maka guru dapat membantu siswa belajar dengan menunjukkan kepada mereka bagaimana sebuah ide baru berhubungan dengan ide lama lainnya. Ketika siswa tidak mampu untuk menghubungkan informasi yang baru dengan segala sesuatu dimana mereka lebih familiar maka pembelajaran akan berjalan lambat, menimbulkan frustasi dan tidak efektif.
5)      Individu mengendalikan pembelajarannya sendiri. Ahli behaviorisme B.F Skinner (1954,1968) menyatakan bahwa siswa harus melakukan respon aktif dalam ruang kelas jika mereka ingin mempelajari sesuatu. Para  kognitis mempunyai pendapat yang sejalan dengan pandangan Skinner meskipun mereka lebih menekankan aktivitas mental bila dibandingkan dengan aktivitas fisik. Para siswa yang tidak aktif mentalitasnya di ruangan kelas akan belajar lebih sedikit tentang sesuatu. Bagi mereka yang mengikutsertakan proses mentalnya dalam materi subyek pembelajaran, maka kondisi alami dari proses kognitif mereka akan menentukan apa yang mereka pelajari dan seberapa efektif mereka dalam mempelajarinya.

2.      Implikasi memori dalam pendidikan (Ormrod ; 211, 2004)
Ada beberapa implikasi memori dalam praktek pendidikan yaitu :
1)      Perhatian merupakan hal yang penting dalam belajar. Lepas dari berbagai macam model memori, dapat diketahui bahwa perhatian merupakan aspek kritis dalam ingatan jangka panjang atas informasi. Individu tidak akan mempelajari sesuatu apabila mereka tidak memprosesnya melalui beberapa langkah dan memberikan perhatian merupakan langkah pertama yang harus mereka ambil. Membantu siswa untuk memfokuskan perhatian mereka  pada informasi penting merupakan langkah pertama dalam membantu mereka belajar. Ruangan kelas masih seringkali merupakan lingkungan dengan banyak stimulus yang bersaing dengan perhatian para siswa. Sebagai contoh, kita bisa membayangkan sedang berada dalam ruangan kelas sekolah kita terdahulu. Seringkali kita memberikan perhatian atas apa yang disampaikan guru tetapi di pihak lain perhatian kita menyimpang pada hal lain seperti gaya berpakaian siswa lain, gambar-gambar tak berarti di dalam notebook kita, atau pada rencana yang telah kita susun untuk akhir pekan. Jika orang dewasa saja tidak dapat menjaga perhatiannya dalam setiap menit sesi kelas, bagaimana kita dapat mengharapkan pembelajar yang lebih muda untuk melakukan hal yang sama pula?
Pada kenyataannya, segala apa yang dilakukan guru didalam ruangan kelas akan membuat perbedaan besar dalam kaitannya dengan bagaimana siswa memberikan perhatian pada tugas yang diberikan. Berikut ini disampaikan beberapa strategi untuk memunculkan dan mempertahankan perhatian siswa, yaitu :
a)      Memasukkan variasi dalam topik-topik dan gaya presentasi. Pengulangan topik dan prosedur yang sama dari hari ke hari dapat menimbulkan kebosanan dan mengurangi perhatian. Variasi dan sesuatu yang baru dalam subyek pembahasan dan model presentasi akan membantu menjaga perhatian siswa terfokus pada pelajaran.
b)      Menyediakan waktu istirahat terutama ketika bekerja dengan anak-anak kecil. Sesudah periode yang panjang untuk duduk dan memperhatikan, seringkali orang dewasa dapat menjadi gelisah dan bingung. Periode waktu istirahat secara khusus penting bagi siswa pada tingkat pendidikan awal dan sekolah dasar. Sebagai contoh anak-anak sering lebih perhatian sesudah beristirahat daripada sebelumnya,
c)      Menanyakan pertanyaan. Pertanyaan adalah jalan yang baik untuk menjaga perhatian siswa ketika dikelas. Dengan bertanya secara periodik dan barangkali dengan sesekali mengarahkan pertanyaan kepada siswa tertentu, guru dapat membantu siswa untuk menjaga perhatiannya.
d)     Memperkecil gangguan ketika tugas individu diberikan. Kebanyakan siswa akan mampu lebih baik untuk berkonsentrasi pada penugasan mandiri yang menantang ketika lingkungan kerja mereka relatif tenang.
e)      Dudukkan siswa di dekat guru bila mereka mengalami kesulitan dalam mendapatkan perhatian. Siswa akan cenderung lebih memperhatikan ketika mereka ditempatkan di depan ruangan dan didekat guru mereka. Barisan depan kursi mungkin lebih diperuntukkan spesial untuk para siswa yang mempunyai sejarah mudah mengalami kebingungan atau teralihkan perhatiannya.
f)       Memonitor perilaku siswa. Perilaku seringkali menjadi sinyal untuk mengetahui apakah siswa memberikan perhatiannya.  Sebagai contoh, siswa seharusnya mengarahkan pandangan matanya ke guru, buku teks atau stimulus yang tepat lainnya dan seharusnya bekerja jelas dengan tugas di tangan.
2)      Orang berbeda memberikan perhatian berbeda atas stimulus yang sama. Kadangkala ketika guru berhasil untuk menarik perhatian siswa pada instruksi  atau bahan, mereka tidak dapat selalu mengontrol bagaimana siswa akan mengikuti mereka. Penelitian dari Faust dan Anderson tahun 1967 menekankan pada satu strategi penting untuk membantu siswa mengikuti dengan efektif yaitu guru seharusnya mendesain tugas di ruang kelas dengan jalan dimana siswa dapat menunjukkan hasil dari tugas secara efektif  hanya dengan cara memberikan perhatian pada sesuatu yang menjadi hal paling penting untuk mereka pelajari.
3)      Individu hanya dapat memproses sejumlah informasi terbatas pada waktu tertentu. Kita mempunyai karakteristik baik pada perhatian atau aspek kerja memori dimana keduanya mempunyai kapasitas yang terbatas dengan kata lain orang dapat memberikan perhatian dan berfikir mengenai suatu hal hanya dalam jumlah yang kecil dari informasi pada suatu waktu. Karena itu untuk mendapatkan informasi dalam memori jangka panjang merupakan sebuah proses yang berjalan pelan.  Para pendidik harus mengingat hal ini dalam menghadirkan pelajaran mereka dan memilih materi instruksi mereka. Ketika terlalu banyak informasi yang ditampilkan terlalu cepat, siswa tidak akan mampu untuk mengingat kesemuanya.
4)      Memori adalah selektif. Karena pembelajar biasanya menerima lebih banyak informasi dibandingkan yang mereka mungkin dapat proses dan ingat, maka mereka harus secara kontinu membuat pilihan mengenai hal apa yang menjadi fokus  dan hal apa yang diabaikan. Sayangnya, guru dan buku teks seringkali memenuhi siswa dengan lebih banyak detail dibandingkan apa yang mungkin bisa diingat oleh orang normal. Dalam situasi tertentu, siswa tidak bisa mengelak untuk menyeleksi berbagai macam informasi dari yang disampaikan oleh informasi lain, tetapi mereka tidak selalu mampu untuk menjadi penentu yang terbaik dari material apa yang menjadi hal terpenting untuk dipelajarinya. Detail seringkali merupakan sesuatu yang penting dari ilustrasi, klarifikasi dan elaborasi pada poin utama pada pelajaran atau buku teks. Dalam hal ini, mereka sangat diperlukan. Pada saat yang sama, guru harus membantu siswa mereka memisah-misahkan melalui informasi yang esensial dan non esensial sehingga para siswa jika dianalogikan tidak kehilangan pandangannya didalam hutan belantara karena pepohonan. Kapasitas terbatas dari kerja memori bukan merupakan sesuatu yang buruk. Kemacetan pada memori yang bekerja mendorong pembelajar untuk mempersingkat, mengorganisasi dan mensintesa informasi yang mereka terima. Proses ini memungkinkan pembelajar mendapatkan ketertarikan terbaik sepanjang masanya, sebagaimana dalam diskusi mengenai penyimpanan dalam memori jangka panjang.

PENUTUP

Dari definisi, proses dan implikasi kognisi dan memori yang sudah kami bahas sebelumnya, kami membuat beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1.            Kognisi adalah suatu konsep umum yang mencakup semua bentuk pengenalan termasuk di dalamnya ialah mengamati, melihat, memperhatikan, memberikan, menyangka, membayangkan, memperkirakan, berfikir, mempertimbangkan, menduga dan menilai.
2.            Memori adalah fungsi yang terlibat dalam mengenang atau mengalami lagi pengalaman masa lalu, keseluruhan masa lampau yang dapat diingat kembali.
3.            Pada tahap perkembangan bayi dan anak, kognisi belum berkembang dengan baik sehingga memori pada bayi dan anak juga belum maksimal. Bayi dianggap sudah memiliki ingatan bahkan ketika dia lahir. Dalam sebuah penelitian, bayi yang berusia 1 bulan dapat mengingat sebuah sajak sampai 1 bulan sejak terakhir dia mendengar sajak itu.
4.            Pada tahap perkembangan remaja, kognisi sudah berkembang melebihi tahap bayi dan anak-anak, namun masih memiliki persamaan yaitu sikap egosentris. Memori pada remaja merupakan masa transisi dari kanak-kanak ke dewasa. Terjadi beberapa pruning pada tahap ini, yaitu pruning terhadap neuron-neuron dan koneksi-koneksi yang tidak lagi terpakai sehingga koneksi yang terpakai bisa dimaksimalkan.
5.            Pada tahap perkembangan dewasa dan lansia, kognisi mencapai pada puncaknya (dewasa) lalu menurun (lansia); berbentuk seperti kurva U terbalik. Potensial-potensial dalam kognisi: kelenturan (plastisitas), kebijasanaan, kreativitas, dan kompensasi.
6.            Memori pada tahap perkembangan dewasa dan lansia berubah dan menurun pada sistem memorinya.
7.            Pembelajaran adalah sebuah fungsi tentang bagaimana informasi dipandang sebagai sebuah proses mental. Indikasi proses kognitif yang tidak efeketif, dalam proses pembelajaran, adalah kesulitan belajar siswa. Dalam pembelajaran, guru harus mempertimbangkan tahap terkini dari pencapaian fungsi kognisi siswanya ketika merencanakan topik belajar dan metode instruksinya, karena individu (siswa) mengorganisir segala sesuatu yang mereka pelajari. Guru dapat memfasilitasi pembelajaran para siswa dengan mempresentasikan informasi dalam sebuah struktur yang terorganisir dan membantu siswa untuk melihat bagaimana suatu hal saling berhubungan dengan yang lainnya.
8.            Proses mengingat adalah proses pembentukan konsep, sehingga erat hubungannya dengan proses berfikir atau kognitif. Proses memori mengacu kepada mekanisme-mekanisme dinamis yang diasosiasikan dengan aktivitas otak untuk menyimpan, mempertahankan dan mengeluarkan informasi tentang pengalaman di masa lalu. Proses memori memiliki tiga tahapan, yaitu: (a) ingatan sensorik: menyimpan apa yang dilihat dan apa yang didengar;  (b) ingatan jangka pendek: gudang sementara yang menyaring dan meneruskan stimulus suara dari ingatan sensorik; (c) ingatan jangka panjang:  bersifat relatif permanent, terdiri dari informasi-informasi penting yang disimpan untuk jangka waktu yang tidak terbatas lamanya. Perhatian merupakan hal yang penting dalam belajar, sehingga membantu siswa untuk memfokuskan perhatian mereka pada informasi penting merupakan langkah pertama dalam membantu mereka belajar. Guru perlu memiliki beberapa strategi untuk membantu mempertahankan perhatian siswa: (a) memasukkan variasi dalam topik-topik dan gaya presentasi, (b) menyediakan waktu istirahat, (c) menanyakan pertanyaan, (d) memperkecil gangguan ketika tugas individu diberikan, (e) dudukkan siswa di dekat guru bila mereka mengalami kesulitan dalam mendapatkan perhatian, (f) memonitor perilaku siswa.

DAFTAR PUSTAKA

Atkinson, Rita L.; Atkinson, Richard C. & Hilgard, Ernest R. 1991. Pengantar Psikologi Jilid 1, edisi ke-8. (diterjemahkan : Nurdjannah Taufik & Rukmini Barhana; ed : Agus Dharma). Jakarta: Erlangga.

Bjorklund, David F. 2005. Children’s Thinking, fourth edition. Belmont, CA: Woodsworth.

Bruner, Jerome S. 1970. The Course of Cognitive Growth (from: Perspectives in Child Psychology Research and Review, h. 381-402, ed: Thomas D Spencer & Norman Kass). New York: McGraw-Hill Book Company.

Chaplin, J.P., 2006, Kamus Lengkap Psikologi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Hetherington, E. Mavis & Parke, Ross D. 1999. Child Psychology A Contemporary Viewpoint fifth edition. Boston: McGraw-Hill College.

Hurlock, Elizabeth B. 1985. Child Development, sixth edition. Auckland: McGraw Hill.

Lerner, Richard M, Easterbrooks, M. Ann, & Mistry, Jayanthi. 2003. Handbook of Psychology, Vol. 6: Developmental Psychology (E-book Version). Hoboken, New Jersey: John Wiley & Sons, Inc. Diunduh dari http://rapidshare.com/files/4404023/researchpsychology.rar pada tanggal 5 Oktober 2008.

Matlin, Margaret W. 1994. Cognition, fourth edition. Fort Worth: Harcourt Brace College Publishers.

Monks, F.J.; Knoers, A.M.P. & Haditono, Siti Rahayu. 2002. Psikologi Perkembangan : Pengantar dalam Berbagai Bagiannya, cet. ke-14. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Ormrod, Jeanne Ellis. 2004. Human Learning, 4th edition. Pearson Prentice Hall.

Piaget, Jean. 1930. The Child Conception of Physical Causality. London: Kegan Paul, Trench, Trubner & Co. Ltd, h. 164-113.

Rose, Colin & Malcom, J. N.. 1997. Accelerated Learning for the 21st Century. London: Judi Piatkus.

Suharman. 2005. Psikologi Kognitif. Surabaya: Srikandi.

Sternberg, R.J.. 2008. Psikologi Kognitif. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Salkind, Neil J (ed). 2002. Child Development. New York: MacMillan USA, 87-92; h.162-165.

Santrock, John W. 1999. Life-Span Development, seventh edition. Boston: McGraw Hill College.

Scarr, Sandra; Weinberg, Richard A & Levine, Ann. 1986. Understanding Development. San Diego: Harcourt Brace Jovanovich.

Sigelman, Carol K & Shaffer, David R. 1991. Life-Span Human Development, second edition. California: Pacific Groove.

Spencer, Thomas D & Kass, Norman. 1970. Perspectives in Child Psychology Research and Review. New York: McGraw-Hill Book.

Sternberg, Robert J. 1999. Cognitive Psychology, second edition. Fort Worth: Harcourt Brace College Publishers.

Thomspson, Richard. F & Madigan, Stephen A. 2005. Memory: The Key to Consciousness. Jakarta: Trans Media.

Read more »

 
Powered by Blogger